Kumpulan Cerpen Siska




MENGEJAR PARMIN
Oleh: Siska Sri Wulandari
Aku benci dengan suasana ini. Suasana kampung yang betul-betul menjijikkan. Kanan kiri penuh dengan kandang ayam. Kotorannya berjejer di sepanjang jalan. Aromanya selalu membuatku hampir muntah. Belum lagi dengan ternak-ternak peliharaan warga yang lainnya. Sungguh membuatku selalu naik darah setiap harinya. Nenek mengatakan ini hanya karena aku yang belum terbiasa. Lama-kelamaan aku pasti juga bisa mengakrabkan diri dengan lingkungan ini. Hah, terserahlah apa kata nenek. Tapi yang jelas sudah satu minggu aku terisolasi di Desa terpencil nan kumuh ini. Tapi sampai detik ini pun belum bisa aku menerima kondisi ini. Tragis sekali memang, aku harus membiasakan diri untuk hidup tanpa fasilitas modern yang selama ini aku miliki. Pusat perbelanjaanpun tidak ada. Mana mungkin aku bisa bertahan hidup disini selama satu bulan tanpa belanja. Bahkan alat transportasi yang nenek berikan padaku hanya sebuah sepeda. Sepeda jadul yang sepertinya usianya lebih tua dibandingkan dengan usia nenek. Mana mungkin aku harus mengendarai sepeda butut itu untuk keliling Desa.          
           
Tapi, hari ini entah ada angin apa, tiba-tiba muncul keinginan aneh dibenakku untuk jalan-jalan keliling Desa. Walaupun aku sadar tidak akan ada pemandangan indah yang bisa aku dapatkan disini. Hanya hutan yang terlihat disetiap mata memandang. Tapi tak apalah. Tidak mungkin selama satu bulan aku harus mengurung diri terus di kamar. Wajah nenek tampak berbinar-binar ketika kusampaikan niatku tersebut. Nenek langsung memerintahkan Paijo, sepupuku untuk mengeluarkan sepeda butut peliharaannya. Debu yang melapisi sepeda itu kira-kira setebal 5 cm ketika aku mencoleknya. Kuperintahkan Paijo untuk mencucinya terlebih dahulu. Walau dengan bibir yang manyun sekitar 1 Meter, Paijo tetap melaksanakan perintahku.
            “jangan sampai nyasar ya Sa. Kalau kamu tidak tahu jalan pulang jangan sungkan-sungkan untuk bertanya pada para warga. Katakan saja kamu cucu nek Sam, mereka pasti akan membantumu. Semua warga disini mengenal nenek.” Nasihat nenek sebelum keberangkatanku.
“ Atau sebut aja nama Paijo. Tidak ada yang tidak mengenal Paijo di Kampung ini.” Sambung Paijo, sepupuku yang masih berusia 10 tahun ini seraya membusungkan dadanya dan menepuk-nepuknya layaknya seorang jagoan dengan wajah penuh percaya diri.
Ku jitak kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Paijo hanya bisa meringis.
            Udara pagi disini benar-benar berbeda dengan udara pagi di Jakarta. Udaranya begitu bersih dan sejuk. Menghirup dan kemudian membuang nafas terasa begitu melegakan. Berbeda sekali dengan Jakarta yang penuh dengan polusi dimana-mana. Untuk sementara waktu aku merasa nyaman tinggal disini. Kicauan burung yang terdengar seperti menyambut kehadiranku. Angin semilir yang berhembus menarikku untuk menelurusi jalan setapak yang ada dihadapanku. Jalan itu terus aku telusuri tanpa ada keraguan. Seperti ada yang sengaja memanggilku untuk kesana. Sebuah Masjid dengan ukuran yang tak terlalu besar menjadi penemuanku yang pertama setelah jalan yang sedari tadi aku telusuri berakhir. Masjid Al-fathir namanya, tertulis didepan pintu masuk Masjid tersebut. Catnya yang Hijau sudah memudar. Kesan kumuh yang aku berikan pada pandangan pertama melihat Masjid ini. Tapi satu yang membuatku begitu terpesona, yaitu taman yang dimiliki Masjid tersebut.
Di bagian kanan dan kiri Masjid terlihat taman bunga yang begitu terawat. Berbagai macam bunga tumbuh disitu. Tidak heran banyak kupu-kupu yang senang bertandang kesitu. Tanpa perlu dikomando kakiku bergerak sendiri menuju taman tersebut. Ada sebuah bunga melati yang sedang bermekaran. Indah sekali, harumnya pun semerbak. Dengan refleks aku hendak mencabut beberapa bunga melati yang sedang bermekaran itu. Tabi tiba-tiba terdengar suara deheman tidak suka dari belakang. Gerakanku pun terhenti. Dengan perlahan aku turunkan tanganku yang hampir saja berhasil menggapai bunga-bunga itu. Dengan ragu-ragu aku membalikkan badan dan menemukan sesosok laki-laki dengan wajah datar tepat dihadapanku. Di tangan kanannya Ia memegang sebuah parang dan di tangan kirinya sebuah cangkul. Betapa terkejutnya aku melihat itu. Dengan mata yang masih membeku aku berusaha untuk kabur, tapi rasanya kaki ini seperti menempel ditanah dan tak bisa digerakkan.
“Maaf mbak bunga yang ada disini dilarang dipetik” kata laki-laki berwajah datar itu sambil meletakkan parang dan cangkulnya. “Permisi sebentar mbak, saya mau membersihkan taman ini dulu.” Sambung laki-laki itu lagi seraya berjalan melewatiku dan langsung sibuk dengan pekerjaannya membersihkan taman.
Dengan sigap aku segera meninggalkan tempat itu. Walau lega kalau laki-laki itu ternyata hanya tukang kebun, jantung tetap saja masih belum bisa berdetak secara normal lagi. Sesampainya aku dirumah aku segera masuk kamar tanpa menceritakan kejadian yang menimpaku tadi kepada nenek.
            Terdengar ketukan dari luar pintu kamarku.
“Salsabila, bangun sayang.” Suara nenek yang parau membangunkanku. Dengan langkah gontai kubuka pintu kamar.
“Ada apa nek?, tanyaku sambil mengucek-ucek mataku.
“Hari ini ada tadarusan di Masjid, nenek mau kamu ikut sekalian memperkenalkanmu kepada warga lainnya.” Jawab nenek sambil meletakkan baju muslim yang dibawanya diatas tempat tidurku.
“Apa? tadarusan?” Aku terperangah mendengar perkataan nenek. Huruf-huruf hijaiyah saja aku tidak hapal, bagaimana mungkin aku bisa mengaji.
“Nenek bercanda kan?“Tanya ku lagi sambil mengikuti langkah nenek ke dapur.
“Lekaslah bersiap-siap Salsabila. Jangan biarkan nenek menunggu terlalu lama.” Jawab nenek sambil berlalu.

            Nenek memang keras. Tidak ada satupun cucunya yang berani menentang kehendaknya. Dan karena alasan itu juga Ayah melemparkan aku kesini. Kedua orangtuaku sengaja menyuruhku tinggal bersama nenek selama bulan puasa ini. Mereka ingin aku berubah. Mereka ingin kebiasaan manja dan mau menang sendiriku bisa berubah, membuatku lebih tahu aturan agama. Menghilangkan hobi berfoya-foyaku dan merubah gaya hidupku yang kebarat-baratan. Apa salahnya jika aku mengikuti gaya hidup orang barat. Mereka Negara maju, pantaslah jika aku mengikuti pola hidup mereka. Memang susah berkompromi dengan orang tua yang hidup di zaman batu. Bahkan orangtuaku memintaku agar aku mengenakan jilbab. Yang benar saja, dalam sejarah mana ada anak cheerleaders yang memakai jilbab. Jangan munafik, memangnya akan ada laki-laki yang mau melirik gadis berjilbab diantara gadis-gadis lain yang mengenakan baju terbuka. Kalaupun ada, pastilah hanya akan menjadi pilihan terakhir.

            Sesampainya di Masjid, aku dan nenek segera duduk dibagian paling depan. Selama pengajian aku hanya berkomat-kamit tanpa tahu apa yang aku baca. Aku seperti disuguhkan peta buta. Aku tahu itu apa, tapi tidak mampu membacanya. Untung waktu itu aku tidak diminta untuk membaca Al-Qur’an, kalau tidak tamatlah riwayatku. Setelah pengajian selesai nenek memperkenalkan diriku pada semua orang yang hadir dalam pengajian tersebut.
            Sebelum pulang, aku minta izin nenek untuk ke toilet sebentar. Tiba-tiba aku berpapasan dengan laki-laki yang kemarin aku temui di taman masjid. Hanya saja kali ini aku lihat dia begitu rapi. Menggunakan pakaian muslim lengkap dengan kopiahnya. Ia begitu tampan. Wajahnya basah. Sepertinya dia baru selesai berwudhu. Aku yang takjub akan ketampanannya hanya bisa terpaku tanpa sadar kalau Ia sudah berlalu dari hadapanku.
***
            Sejak bertemu dengan laki-laki itu aku jadi semangat untuk pergi ke Masjid. Setiap selesai sahur biasanya aku langsung tidur, tapi sekarang aku selalu shalat shubuh berjamaah di Masjid. Tarawihku pun menjadi lancar. Padahal biasanya nenek harus mengomeli aku dulu baru aku mau pergi shalat tarawih. Jujur, aku malas sekali jika harus disuruh shalat tarawih. Rakaatnya banyak sekali, kakiku pegal harus terus berdiri lama-lama. Tapi sudah tiga hari setelah pertemuanku dengannya pada saat pengajian aku tidak pernah melihatnya. Ia seperti hilang ditelan bumi. Mau bertanya pada nenek, namanya saja aku tidak tahu. Aku menjadi gelisah semenjak tidak pernah melihatnya lagi. Seperti ada bagian dari hidupku yang hilang. Aku merasa semua perubahan yang aku lakukan hanya untuknya menjadi sia-sia.

            Ini sudah yang ketiga kalinya sandalku hilang ketika shalat tarawih. Padahal sandal yang aku kenakan itu hanya sandal jepit. Cuma Rp. 5000 harganya. Apalah artinya sandal seperti itu diambil. Dan kenapa selalu aku yang menjadi korbannya. Tapi yang lebih parahnya lagi, kali ini hanya sebelah sandalku saja yang hilang. Aku terus menelusuri halaman Masjid sambil menenteng-nenteng sandalku yang satunya. Memalukan sekali, untung Masjid sudah sepi. Leherku rasanya pegal sekali terus menunduk-nunduk mencari sandalku. Tiba-tiba aku menabrak seseorang. Segera kuangkat kepalaku untuk memastikan siapa orang yang aku tabrak. Oh My God, teriakku dalam hati. Petaka membawa keberuntungan. Aku bertemu lagi dengan laki-laki itu. Laki-laki tampan yang mampu membuatku senyum-senyum sendiri jika memikirkannya.
“Maaf,” katanya sambil berlalu tanpa sedikitpun melirikku. Apa yang salah dengan laki-laki itu, keterlaluan sekali Ia menyia-nyiakan pemandangan indah seperti aku. Padahal pasti Ia tidak pernah menemukan gadis secantik aku di Desanya. Aku pun mengejarnya dan kemudian menarik tangannya. Tapi dengan segera Ia menghempaskannya. Memandangku dengan pandangan tidak suka. Aku yang sadar akan situasi ini langsung memasang senyum dengan wajah lugu yang aku buat-buat. “ Bisa bantu aku mencari sebelah sandalku?” tanyaku sok lugu sambil memperlihatkan kepadanya sandalku yang hanya sebelah itu.
“Disini memang sering terjadi kehilangan sandal kalau sedang tarawih. Biasanya itu kerjaan iseng anak-anak. Biasanya mereka membuangnya ke tong sampah”, katanya datar sambil menatapku dingin sambil berlalu menuju tong sampah yang ada di samping teras Masjid. Dan benar saja, sandalku memang ada disana. Belum sempat aku mengucapkan terima kasih Ia sudah pergi begitu saja. Aku kembali mengejarnya.
“Terima kasih ya, nama lo siapa?” tanyaku setelah berhasil mengimbangi langkahnya.
“Untuk apa kamu tahu nama saya?” jawabnya ketus tanpa menghentikan langkahnya.
“Untuk di goreng buat sahur besok. Ya buat kenalan lah, gitu aja kok pakai nanya sih.” Candaku berusaha menghibur diriku sendiri. Kemudian Ia berhenti. Menatapku dengan sinis kemudian menghela nafas.
“Parmin, dan sekarang tolong jangan mengejar-ngejar saya lagi.” Katanya sambil berlalu
“ Namaku Salsabila, aku cucunya nenek Sam.” Teriakku.
***
            Sesampainya di rumah aku langsung bertanya pada nenek.
“Nek, anak laki-laki tukang kebun di Masjid yang bernama Parmin itu tinggal dimana?”
Nenek tampak bingung dengan pertanyaanku barusan. “Parmin?, tukang kebun Masjid?” Ulang nenek.
“Iya, Parmin. Masak nenek tidak mengenalnya.” Sambungku.
“Di Desa ini tidak ada tukang kebunnya.”
“Apa? Tidak ada? Kalau anak laki-laki yang seumuranku bernama Parmin tentu ada kan nek?”
“Anak laki-laki seumuranmu yang bernama Parmin nenek rasa juga tidak ada.”
“Apa nenek yakin tidak ada yang bernama Parmin?”
Nenek hanya menjawab dengan anggukannya yang membuatku begitu kecewa. Aku baru sadar ternyata laki-laki itu telah membohongiku.
            Aku meletakkan sepucuk surat di taman Masjid, tepat dibawah bunga melati yang beberapa tempo waktu lalu hendak aku petik bunganya. Berharap Parmin membacanya. Isi suratnya adalah aku meminta untuk bertemu dengannya di Taman ini lagi besok pukul 17.00 WIB. Malamnya, aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku khawatir surat itu malah jatuh ketangan orang lain. Atau yang lebih buruknya lagi Parmin malah membuang surat itu setelah membacanya dan mengabaikan permintaanku. Apalagi melihat sikap Parmin kepadaku, tidak menutup kemungkinan malah akan terjadi hal yang lebih buruk dari itu. Sekitar pukul 24.00 aku baru bisa terlelap.
            Pukul 16.45 aku sudah sampai di Taman itu. Aku duduk di pojokan Taman sambil terus mengawasi sekelilingku. Tapi sampai pukul 17.20 pun, Parmin belum juga muncul. Ternyata dugaanku benar. Ia sudah membaca suratku tapi tidak menggubris permintaanku. Karena surat yang sebelumnya aku letakkan dibawah bunga melati itu, kini sudah tidak ada. Saat itu aku benar-benar hancur. Selama ini apa yang aku mau pasti bisa terwujud dengan mudah. Semua laki-laki pun tidak pernah ada yang menolakku. Tapi Parmin. Parmin mampu membuatku kalah. Tanpa sadar air mataku menetes. Tiba-tiba terdengar langkah kaki seseorang dari belakang. Kemudian terdengar suara yang aku yakin bahwa itu adalah suara Parmin.
“Mungkin aku tidak sama seperti yang lain. Aku berbeda. Maaf jika aku terlambat.”
Aku segera menoleh kebelakang. Dan benar ternyata memang Parmin yang kini ada dihadapanku.
“Parmin?” seruku setengah berteriak.
“Raffa.”, seru Parmin sambil tersenyum manis. Senyum termanis yang pernah aku lihat.
“Maafkan saya Salsabila. Saya melakukan itu, karena saya tidak suka terus kamu ikuti. Tapi hari ini, saya benar-benar senang melihat kamu menemui saya dengan pakaian muslim. Memang pakaian seperti itulah yang pantas dikenakan oleh seorang muslimah.”
Saat itu aku rasanya seperti terbang. Pertama karena Ia ingat akan namaku. Kedua karena Ia menemuiku. Dan yang ketiga karena dia menghadiahkanku senyumnya yang selama ini aku nanti-nanti. Walau dibumbui dengan sedikit kebohongan tapi aku senang dan aku harus berterima kasih pada nenek. Dialah yang menyarankanku untuk mengenakan pakaian muslim untuk bertemu dengan Parmin waktu aku ceritakan perihal niatku mengajak Parmin ketemuan.
“Sekarang setelah kamu bertemu dengan saya, apalagi yang kamu inginkan dari saya?” tanyanya lagi.
Aku bingung harus menjawab apa. Aku ingin bilang kalau aku suka padanya. Tapi itu sama saja seperti mempermalukan diri sendiri. Mungkin memang harus aku yang menuntunnya untuk bisa menyukaiku.
“gue mau lo jadi pembimbing gue untuk meraih pintu kemenangan.” Jawabku sambil tersipu-sipu malu. Raffa hanya tersenyum manis dan mengangguk.
 ***


I’m Sorry,I love your Friend…
                   Oleh Siska Sri Wulandari



Suasana kantin yang begitu penuh sesak dan udaranya yang sudah terkontaminasi oleh bau badan  siswa yang melebur jadi satu,membuat selera makan Rissa menjadi hilang.Hari ini benar-benar hari yang amat sangat menjengkelkan bagi Rissa. Rissa mencampakkan sendok yang sedang dipegangnya dan segera pergi meninggalkan kantin.Kemudian terdengar suara teriakan Nanda,sahabat Rissa.”Riss,mau kemana lo,batagornya belum abis nih”.Tapi orang yang dipanggil sama sekali tidak mau menoleh sedikit pun.”Hyee,kenapa lagi sih tuh anak”.kata Nanda pada dirinya sendiri sambil melanjutkan makannya lagi.

“Braaak!!!”Rissa membanting pintu kamar mandi,Ridha yang ada di kamar mandi langsung kaget dan hendak balas membanting eh salah maksudnya memarahi Rissa.Tapi melihat raut wajah Rissa yang sudah tidak menyerupai manusia yang berperikemanusiaan lagi membuat Ridha mengurungkan niatnya dan segera pergi meninggalkan Rissa seorang diri.Wajah Rissa yang putih berubah menjadi merah padam,hidungnya kembang kempis menahan air matanya yang sudah diujung jalan dan siap tumpah kapan saja.Ketua karate ini mengepalkan tangannya dan meninju tembok.
“Emangnya apa sih kurangnya gue dibandingi dia.Cantik,cantikan gue,kaya, kayaan gue,populer,jelas gue dong yang lebih populer.Siapa yang gag kenal ama gue.Secara gue ketua ekskul  karate di sekolah.Gue juga udah berpuluh-puluh kali memenangkan kejuaraan tingkat Nasional.Preman pasar mana coba yang nggak kenal ama gue.Sedangkan dia,arrgh,dari dulu dia itu selalu ada dibawah ketiak gue!!!”teriak Rissa
Rissa melihat wajahnya dicermin,terngiang-ngiang kembali kata-kata Radith tadi pagi.
”Hey jar liat deh,bagus nggak bunganya?”kata Radith kepada Anjar dipersimpangan jalan.
”Haah..!!!kesambet apaan lo,apa semalam  ada makhluk asing  yang masuk kekamar lo terus nobatin lo sebagai Duta lingkungan planet mereka..?,
”Sialan lo,kebanyakan nonton Doraemon sih lo,nih bunga mau gue kasih buat Nanda.”
  “Nanda,..?sahabatnya Rissa itu..?
Radith mengangguk.
“lho bukannya lo sukanya sama Rissa,kok ngasih bunganya ke Nanda?
“Siapa yang bilang gue suka ama Rissa,selama ini gue deketin dia,supaya gue juga bisa deket sama Nanda.”
“hoooo…..”,jawab Anjar.


“horee…!!!!”teriak para siswa kelas XI IPA.Betapa senangnya hati mereka.Hari ini guru matematika killer yang selalu membawa senapan(penggaris panjang)yang siap menggigit semua muridnya yang tidak bisa menjawab pertanyaannya tidak datang.Ini merupakan kebahagian yang tiada tara bagi seluruh murid-murid.Bahkan emas berlian pun tidak bisa menggantikan kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini.3 jam belajar matematika bersama ibu killer itu serasa 1 abad.Dunia ini seakan tidak ada siang dan malam lagi.Sungguh karunia Tuhan yang begitu besar.Semua siswa langsung merayakannya dengan menyulap ruang kelas yang tampak suram itu menjadi pasar ikan.

Hanya Rissa yang duduk seorang diri di sudut kelas.Nanda yang melihat sahabatnya sedang menyendiri itu langsung menghampirinya.
“Hai Riss,tumben lo diam aja,biasanya lu yang paling tersiksa lahir dan batin kalau pelajaran ibu itu,kok kayaknya lu malah sedih ibu itu nggak masuk?”.Gurau Nanda sambil tertawa.
    Mendengar ucapan Nanda,Rissa langsung berdiri “Mungkin gue emang gag sepinter lo,tapi lo nggak berhak memperlakukan gue kayak gini.Tega ya lo nusuk gue dari belakang.Teman macam apa lo.”!!!Rissa langsung meninggalkan Nanda.
Nanda yang tidak mengetahui apa-apa hanya menganga’ mendengar perkataan Rissa.Nanda pun langsung mengejar Rissa.

            Rissa berlari kencang,tiba-tiba Ia  menabrak Radith.Radith tersenyum padanya.
“Hai riss,mau kemana?kok buru-buru?”Rissa menatap Radith dengan penuh kebencian,mata Rissa semakin merah,semakin deras pula air matanya turun.Radith yang melihatnya menjadi bingung.Tiba-tiba Rissa menampar Radith,dan segera berlari lagi.Radith hanya membatu,tak tau apa yang harus Ia lakukan.Tiba-tiba Nanda menghampirinya.
“Dith,lo ngapain Rissa sih…?”,Tanya Nanda sambil terengah-engah.
“Gue?”,Tanya Radith polos.
“Ya iyalah,jadi siapa lagi?”
“Lho kok gue,mana gue tau,gue aja bingung.Barusan dia nampar gue.”
“haah,nampar..?”Nanda sangat terkejut mendengarnya.Sama sekali tidak pernah terbesit di pikirannya Rissa akan melakukan tindakan seperti itu.Nanda tau persis bahwa sejak  SMP Rissa naksir berat sama Radith,dan akhir-akhir ini Radith udah mulai ngasih perhatian sama Rissa.terus apa yang salah??,Nanda tak habis pikir.
“Nan..?”Radith menepuk pundak Nanda.
Nanda tidak menggubrisnya dan segera meninggalkan radith sendirian.

“njar!!!!”,teriak Radith sambil menimpa Anjar yang sedang terbaring tak berdaya di tempat  tidur.
“Duuh..ada apaan si dit,ganggu orang lagi tidur aja lo..”
“njar,gawat nih,gue butuh pendapat lo.”
“Pendapat apa lagi sih?,kalo lo mau nanya jodoh lo jangan sama gue dong,sana,sama mak erot aja..”kata Anjar sambil meringkuh pelan melepaskan dirinya dari timpaan tubuh Radith yang atletis itu.
“njar,tadi Rissa nangis terus nampar gue.”
“Haah,lo apain tuh anak orang!”,Anjar langsung tersentak mendengarnya dan duduk bersila di hadapan Radith bak anak kucing yang ingin minta makan pada majikannya.

            Setelah mendengar penjelasan Radith,Anjar mengajak Radith untuk menemui Rissa guna menyelesaikan masalah ini.Hari ini adalah jadwalnya Rissa untuk latihan karate.Sesampainya disekolah,Anjar melihat Rissa yang tengah istitahat.Mereka pun menghampiri Rissa.Rissa sangat kaget melihat dua orang yang saat ini ada dihadapannya.Hampir saja botol aqua yang sedang dipegangnya terlepas dari genggamannya.Rissa menatap kedua orang itu dan beranjak berdiri hendak meninggalkan dua sahabat itu.Belum sempat Rissa melangkahkan kakinya,Radith langsung menarik tangan Rissa.Rissa berusaha untuk melepaskannya,namun Radith tetap menggenggam tangan Rissa.Setelah dipaksa oleh Anjar dan Radith,akhirnya Rissa mau juga diajak bicara.

Radith menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Rissa,kenapa tadi siang tiba-tiba Rissa menampar Radith.
“Dith,kenapa sih lo tega ngelakuin ini sama gue”,Tanya Rissa.
“ngelakuin apa?gue gag ngerti.”
Mulai terpikir hal-hal aneh dipikiran Anjar…
“Astaghfirullah dith,gue nggak nyangka dith,tobat dech gue,tobat”,celetuk Anjar.
“apaan sih lo..!,sergah Radith.
Anjar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya,dan kembali menyaksikan telenovela Indonesia yang yang ada dihadapannya.
            “Kenapa lo jadiin gue alat buat ngedeketin Nanda?”
Mendengar itu Anjar dan Radith sangat terkejut.kenapa Rissa bisa tau.
            “lo tau khan dit,kalau dari SMP gue itu udah naksir sama lo.gue pikir gue gag bakalan punya kesempatan buat dapetin lo.Karena sejak dulu,ngelirik gue Aja lo nggak pernah dith.Dan gue ngerasa punya harapan lagi ketika lo mulai  ngedeketin gue.Tapi ternyata lo deketin gue,supaya lo bisa deket sama        
Nanda sahabat gue sendiri.Lo tau gimana sakitnya hati gue..?
           
            “Riss,gue minta maaf banget sama lu.”pinta Radith tulus.
            “Maaf…?lo pikir segampang itu hati gue bisa sembuh?,akhirnya tumpah juga air mata Rissa yang ditahannya sedari tadi.

            “Gue tau Riss,berapa kali pun gue minta maaf sama lo,nggak bakalan
            ngerubah keadaan.Tapi sama sekali nggak pernah terbesit dipikiran gue buat jadiin lo alat.Gue sama sekali nggak tau kalau lo sayang sama gue.”

“Sekarang setelah lo tau kalau gue sayang sama lo,apa yang bakalan lo                lakuin?”Tanya Rissa lirih

Radith hanya diam.entah jawaban apa yang harus Ia berikan kepada Rissa.
Angin sepoi-sepoi berhembus.keadaan masih hening.satu dua detik masih belum terdengar suara apapun.tiga,empat,lima detik belum terdengar suara apapun.

            Tiba-tiba….
“GUBRAK…!!!”
Terlihat Nanda jatuh tertelungkup dihadapan Radith bersama dengan sepeda bututnya.Radith sangat senang melihat kedatangan Nanda.Ia pun segera menolong Nanda.Rissa yang melihat begitu perhatiannya Radith terhadap Nanda,semakin hancur berkeping-keping hatinya.

“Riss,akhirnya gue nemuin lo juga,dari tadi gue nyariin lo.”kata Nanda sambil mendekati Rissa.
“mau apa lo kesini?”Tanya rissa ketus.
“gue Cuma mau liat keadaan lo aja, gue khawatir sama lo,gara-gara kejadian tadi siang.”tutur Nanda polos.
            “Gue nggak butuh perhatian lo!”,bentak Rissa
Sontak Nanda yang tidak tau apa-apa,merasa kaget.Ia tidak pernah merasa Ia punya salah pada Rissa,tapi kenapa Rissa berbicara begitu kasar kepadanya.
            “Salah gue apa Riss…?”
            “lo Tanya sama diri lo sendiri,apa salah lo!!”

            “Stop.Berhenti Riss.Lo nggak boleh ngomong kayak gitu sama Nanda,lo harus ingat kalau Nanda itu sahabat lo”,seru Anjar tiba-tiba
            “Sahabat..?mulai hari ini dia bukan sahabat gue lagi,”jawab Rissa ketus
            “Cukup Riss,lu nggak boleh nyalahin Nanda.Gue yang salah,gue yang salah karena gue sayang sama dia.seharusnya memang dari awal gue nggak suka sama dia.”Radith membela Nanda.

Nanda terperangah mendengar perkataan Radith.Nanda begitu terguncang mengetahui kenyataan yang sebenarnya.Jadi Dialah yang menyebabkan semua ini terjadi.Dia yang menjadi sumber masalahnya.Rasa bersalah memenuhi sekujur tubuhnya.Penyesalan menyelimuti dirinya..Begitu terlambat untuk mengetahuinya sekarang.

“Riss,maafin gue,gue sama sekali nggak pernah bermaksud buat ngerebut Radith dari elo.”seru Nanda lirih sambil menahan air matanya.

“Riss,ello berubah Riss,ello nggak seperti Rissa yang dulu.Gue kangen sama    Rissa yang selalu membela yang lemah,Rissa yang sayang banget sama temen-temennya,Rissa yang selalu ceria.Gue kangen sama ello yang dulu.Tapi ello berubah ketika Radith mulai ngedeketin lu.Gue jadi nggak kenal lagi siapa gadis cantik yang lagi berdiri dihadapan gue.Dari dulu gue sayang sama ello Riss.Tapi gue ngerelain ello sama radith,karena gue pikir Radith emang yang terbaik buat ello.Tapi gue juga nggak tega ketika gue tahu yang sebenarnya.Gue ingin lo tau,kalau selalu ada gue buat ello”,tiba-tiba Anjar mengakui seluruh perasaannya terhadap Rissa.

Semua yang ada disitu merasa kaget,kecuali Nanda.Nanda yang sudah berteman dengan Anjar sejak kecil,sudah mengetahui sejak dulu perasaan Anjar.

“Dan buat ello Nan,dari dulu gue udah nganggap ello sebagai adik gue.Dan gue nggak ingin lo ngerasain apa yang gue rasain terlalu  lama.Udah saatnya untuk ello ngakuin seluruh perasaan ello.Ello harus bilang ke Radith kalau ello juga sayang sama dia.Pengorbanan ello terlalu besar buat mempertahankan persahabatan yang dirusak sendiri sama sahabat ello.”tambah Anjar.

.           Radith yang mendengar itu semua merasa amat bahagia.Ternyata perasaannya terhadap Nanda selama ini tidak bertepuk sebelah tangan.Rissa menyesal dengan semua yang telah Ia lakukan.
“Nan,maafin gue,karena gue terlalu egois,sampai-sampai gue nggak bisa ngendaliin emosi gue dan udah buat ello terlalu banyak menderita.Ternyata gue punya sesuatu yang jauh lebih berharga daripada Radith.yaitu Ello dan Anjar.
“sama-sama ya Riss,gue juga minta maaf banget sama ello.”
“ello nggak pantes buat ngucapin kata maaf ke gue,karena ello sama sekali nggak salah.”Ucap Rissa lirih sambil memeluk Nanda.

Akhirnya semua permasalahan bisa diselesaikan.Radith menyatakan perasaannya kepada Nanda.Nanda pun dengan senang hati membalas cinta Radith.Sedangkan Rissa,Ia berusaha untuk mulai mencintai Anjar.Anjar dengan setia selalu menunggu Rissa,karena Rissa adalah cinta pertama dan terakhirny(ce illa,kayak judul lagu).Cinta dan Persahabatan itu memang merupakan suatu pilihan yang amat sulit.Namun jika kedua-duanya bisa berjalan bersamaan WHY NOT….?HAHAHA…


♥♥♥“ALL PEOPLE IN THE WORLD NEED LOVE BUT  THERE IS NO PEOPLE CAN LIVE WITHOUT FRIENDS”.♥♥♥
 
CINTA SUNDARI
Oleh Siska Sri Wulandari
Kepalaku masih terasa pusing. Seluruh tubuh ini terasa sulit untuk digerakkan. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari kedua tanganku terikat di kedua sisi sebuah tempat tidur. Kuperhatikan sekelilingku, semuanya kosong. Tidak ada satu perabotan pun mengisi ruangan ini termasuk jendela dan ventilasi kecuali tempat tidur yang sekarang sedang aku tiduri dan sebuah meja kecil yang berada tepat disampingnya.
Tiba-tiba terdengar suara derit pintu dibuka. Seberkas cahaya akhirnya masuk ke dalam ruangan ini. Perlahan seorang gadis berjalan mendekatiku sambil menyeringai melihatku. Aku hanya menatapnya tajam. Ia duduk disebelahku sambil mengusap kepalaku sembari berkata,
“Kamu tidak perlu takut sayang, aku tidak akan menyakitimu.” Ujarnya dingin.
“Siapa kamu, apa yang telah kamu lakukan terhadapku. Dan dimana aku sekarang. Kenapa kamu menyanderaku?” teriakku sambil menghempaskan usapannya.
Tapi gadis itu hanya diam, kemudian Ia berjalan keluar ruangan meninggalkanku. Aku berteriak sekeras mungkin tapi sedikitpun Ia tidak menggubrisnya. Ruangan kembali gelap gulita. Aku sama sekali tidak ingat apa yang sebelumnya terjadi kepadaku. Hal terakhir yang aku ingat adalah tadi malam aku sedang berada di tengah pesta ulang tahun Anshar, teman satu kampusku. Hanya itu yang mampu aku ingat. Tidak ada yang lain, hanya itu.
            Kupejamkan mataku, berharap ini semua hanya mimpi buruk dan ketika aku membuka mata kembali semuanya akan kembali seperti semula. Aku berada ditengah pesta bersama teman-temanku lagi. Tapi hasilnya nihil ketika aku membuka mataku kembali. Tidak ada perubahan, hanya gelap yang kutemui. Kugigit lidahku berharap aku tak merasakan apa-apa, tapi ternyata tidak. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Tak terjadi perubahan apapun ketika aku membuka mata setelah untuk beberapa lama memejamkannya dan terasa sakit ketika aku menggigit lidahku.
Tiba-tiba muncul dibenakku rasa takut akan mati. Tidak mungkin ada harapan pertolongan akan datang menyelamatkanku. Karena tidak  seorangpun yang tahu akan keberadaanku. Tanpa terasa air mataku tiba-tiba jatuh.
“Ya Allah, tolong selamatkan hambamu ini. Hanya kepadamu hamba memohon.” Tak lelah-lelahnya aku terus memanjatkan Do’a pada yang Kuasa. Dan selalu berharap akan datangnya sebuah pertolongan.
            Aroma sup panas membangunkanku. Kulihat seorang gadis duduk disampingku sambil tersenyum, tapi tidak menyeringai seperti yang dilakukan oleh gadis pertama tadi. Lampu pun sudah dinyalakan. Di atas sebuah meja terdapat semangkuk sup panas yang asapnya menari-nari memanggil perutku lengkap dengan segelas teh hangat. Aku segera bangkit dan berusaha untuk menjauh dari gadis itu. Aku yakin di dalam sup panas itu sudah dimasukkan racun untuk membunuhku.
“Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu.” Kata gadis itu lembut.
“Kata-kata yang kalian ucapkan sama, jelas kamu berkomplotan dengan gadis tadi. Kalian pasti ingin membunuhku kan?, Tolong, tolong, tolong,”teriakku berusaha mencari pertolongan.
Gadis itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. “jangan berisik, nanti kakak mendengarnya. Dengar ya, aku sama sekali tidak bermaksud menyakitimu. Justru aku kesini datang untuk menyelamatkanmu.” Aku berusaha untuk melepaskan tangan gadis tersebut tapi gagal. “Aku tidak akan melepaskannya sampai kamu diam”, sambung gadis itu. Aku menatapnya tajam, tapi sedikitpun tidak terpancarkan kejahatan dari matanya. Melihatku yang sudah tenang, Ia melepaskan tangannya dari mulutku. “Makanan ini tidak beracun, aku hanya khawatir kamu kelaparan saja”, kata gadis itu sambil ,menyendok sup dan meniupnya hingga dingin dan menyodorkannya kepadaku. Namun aku tidak bereaksi apa-apa.
“Apa yang bisa menjamin kalau makanan itu tidak beracun?”, tanyaku ketus.
“Aku akan mencobanya”, jawab gadis itu yakin.
Ia memakan tiga suap sup itu tanpa ragu”. Lihat, sama sekali tidak ada racun di dalam sup ini.” Akhirnya akupun mau memakan sup tersebut. Setelah Selesai makan aku meminta gadis itu untuk menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun belum sempat gadis itu menjelaskannya gadis jahat itu muncul lagi. Tanpa ada waktu untuk bersembunyi gadis jahat itu langsung menampar gadis yang telah memberiku makan barusan. Tamparan bolak-balik yang diberikan oleh gadis jahat itu tak sedikitpun membuat si gadis baik untuk melakukan perlawanan. Gadis baik itu hanya bisa menangis. Akupun tidak bisa melakukan apa-apa selain diam karena jika muncul niat dibenakku untuk menjadi seorang pahlawan mungkin saat ini juga aku akan tewas menggenaskan.
“Sekali lagi aku memergokimu melakukan hal ini aku tidak akan segan-segan untuk melakukan hal yang lebih kasar dari ini.” Teriak si gadis jahat sambil menyeret si gadis baik dengan menarik rambutnya. “Braak”. Terdengar suara pintu dibanting. Aku hanya menghela nafas. Tidak ada gunanya mengasihani orang lain. Bukankah yang lebih pantas untuk dikasihani itu adalah diriku sendiri. Lagipula saat ini tidak ada satu orangpun yang bisa kupercaya. Jangankan untuk percaya pada si gadis baik, namanya saja aku tidak tahu. Aku hanya menyebutnya gadis baik karena dia telah memberiku makan.
            Satu jam kemudian gadis jahat itu kembali masuk menemuiku. Aku segera memasang pose siaga. Ia membuka laci meja yang terdapat disebelah tempat tidur. Ia mengeluarkan sebuah album foto usang dari dalamnya. Dihembuskannya debu yang menempel diatas album tersebut tepat diwajahku. Tak kuasa pula aku menahan bersin.
“Masa SMA adalah masa-masa indah bagimu kan?” Tanya gadis itu sambil menatapku dalam.
“Apa urusanmu dengan kehidupanku?” balasku ketus.
“Aku bukan orang sepertimu yang tidak pernah memperhatikan orang-orang disekelilingmu, kecuekanmu itulah yang membuatmu seperti ini”.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Ujarku lagi.
“Memangnya apa yang kamu mengerti selain bersenang-senang? Pernahkah kamu merasakan kesepian di dalam keramaian? Dikucilkan dari pergaulan. Tidak punya sahabat, jangankan sahabat, temanpun tidak punya, selalu dianggap tidak ada dan diabaikan serta dijauhi seperti penyakit. Bahkan ketika jatuh cintapun kamu dipersalahkan dan dianggap orang paling hina karena terlalu berani untuk mencintai orang sepertimu?” teriak gadis itu sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tiba-tiba air matanya menetes. “Aku yakin kamu pasti tidak akan pernah mengingatku karena sejak awal di dalam ingatanmu aku memang tidak pernah ada.”
“Aku minta maaf jika aku memang mempunyai kesalahan di masa lampau yang membuatmu dendam sampai saat ini.” Aku berusaha bersikap tenang, karena kini aku mulai sadar bahwa permasalahan yang sesungguhnya ada pada diriku.
“Kamu minta maaf pada orang yang tidak pernah kamu kenal sebelumnya. Apakah tiga tahun tidak cukup bagimu walau hanya sekedar mengetahui namaku?” sindir gadis tersebut.
“Apa kita teman semasa SMA?”
“Mungkin terlalu sulit bagimu untuk mengenal diriku yang seperti ini.” Gadis itu beranjak dari duduknya dan mengambil kacamata dari dalam laci meja dan memakainya. Tapi sama sekali tidak terlintas satu namapun dibenakku untuk menemukan identitasnya. Tapi sepertinya aku pernah melihat gadis tersebut sebelumnya.
“Sepertinya aku pernah melihatmu.” Kataku ragu.
“Apakah kata-kata itu tidak terlalu kejam untuk seseorang yang tiga tahun satu sekolah denganmu?” Tanya gadis itu bengis sambil memegang daguku dan dengan kasar menghempaskannya. Dipelihatkannya foto-foto yang ada di dalam album yang dikeluarkannya tadi. Foto-foto itu berisi semua kegiatan di sekolah yang pernah aku ikuti. Bahkan Mulai dari masa orientasi. Aku menatapnya ngeri.
“Ingatkah kamu pada seorang gadis jelek berkacamata bulat nan tebal serta culun yang pernah memberimu surat cinta, namun dengan kejamnya kamu membacanya di hadapan seluruh siswa yang membuat gadis itu tidak berani masuk sekolah selama satu minggu?”
“Sundari?” tanyaku ragu.
“Sudah terlalu terlambat untuk kamu bisa mengetahui namaku. Aku akan membuat kamu menyesal atas apa yang telah kamu lakukan.” Nada bicara Sundari semakin meninggi.
“Apa hanya karena hal seperti itu kamu memendam dendam yang begitu besar padaku?, aku begitu menyesal dan berjanji akan memperbaiki semua kesalahanku padamu.” Ujarku memelas.
“Menyesal? Kenapa baru sekarang kamu mengatakan kalau kamu menyesalinya? Dan apa yang bisa kamu perbaiki? Gadis itu menamparku.”Hanya karena hal itu katamu? Setiap hari selalu memperhatikanmu dari jauh. Aku tahu segalanya tentangmu. Setiap hari aku berusaha untuk menegurmu tapi perlu keberanian besar agar bisa menembus dinding keangkuahan geng tengilmu. Jangankan menegurmu, menatapmu pun aku tidak punya keberanian. Bahkan kamu tidak pernah mengetahui namaku walaupun kita satu sekolah dan pernah satu kelas selama satu tahun. Kamu tahu bagaimana sakitnya? Tidak hanya tekanan itu yang aku dapatkan, tapi juga tekanan dari teman-temanmu yang terus menghina dan menggangguku. Hal itu menjadi tekanan besar dalam hidupku. Mungkin awalnya aku masih bisa bersabar. Tapi ketika sudah tidak ada lagi tempat dihatiku untuk bersabar kamulah orang yang paling pantas membayar semuanya.
Aku hanya membisu. Aku mulai mengingat kembali masa-masa saat aku masih duduk dibangku SMA. Aku memang sering melihat Sundari memperhatikanku tapi aku tidak pernah mempedulikannya. Aku juga sering melihat Ia dikerjai oleh teman-teman. Aku memang tidak pernah mengganggu maupun mengejeknya, tapi aku selalu menjadi penyumbang tawa yang paling keras ketika Ia dikerjai. Padahal aku tidak tahu siapa nama gadis yang aku tertawai itu. Aku baru mengetahui namanya ketika Ia memberikan aku surat cinta. Di akhir surat Ia menuliskan namanya, Sundari. Terlahir dari anak orang terhormat membuatku tumbuh menjadi laki-laki yang angkuh dan terlalu kolektif dalam memilih teman. Menurutku hanya orang-orang kaya saja yang pantas menjadi temanku. Aku tidak menyangka buah dari keangkuhanku adalah hal seperti ini.
“Tidak ada gunanya kamu menyesal. Aku akan membuatmu membayar apa yang seharusnya kamu bayar atas semua kesalahanmu.”kata sundari culas seraya berlari meninggalkanku.
            Apapun yang dilakukannya terhadapku, aku yakin itu memang hukuman yang pantas untukku. Aku siap menerimanya.
            Tiba-tiba tercium bau asap dari luar. Perasaanku menjadi tidak enak. Kemudian munculah adik Sundari yang sampai saat ini belum kuketahui namanya dan menyelamatkanku. Dia melepaskan ikatan ditanganku.
”kakak ingin membunuh kita bertiga dengan cara membakar kita hidup-hidup.”
“Apa? Tapi kenapa harus kita? Kenapa tidak aku saja?
“Kakakku mengalami gangguan kejiwaan sejak lulus SMA karena apa yang telah dialaminya sewaktu SMA terlebih karenamu. Setelah kedua orangtuaku meninggal 6 bulan yang lalu dalam sebuah kecelakaan. Aku memutuskan untuk tinggal di tempat terpencil ini dan jauh dari keramaian agar kakakku tidak mengganggu warga yang lain ”
“Tapi, “ belum sempat aku melanjutkan kata-kataku gadis itu segera membawaku keluar. Dan kami  berhasil keluar dengan selamat.
“Ini,”katanya sambil menyodorkan  sepucuk surat kepadaku. “Ini surat yang kakakku tulis saat dia masih duduk di kelas XII, saat ia masih normal. Tapi Ia tidak pernah berani lagi memberimu surat setelah apa yang telah dialaminya sebelumnya, jadi aku curi suratnya dan aku ingin kamu membacanya”.
Aku menerima surat tersebut dengan wajah bingung.” Aku akan menyelamatkan kakakmu”.
“Tidak, tugasmu cukup sampai disini. Biar aku yang selesaikan semua ini”
“Apa kamu akan kembali?”
Tanpa menjawab pertanyaanku Ia segera berlari masuk kedalam rumah. Dari kejahuan aku melihatnya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku yakin Ia takkan pernah kembali.
Kubuka surat pemberian gadis tersebut
“Dear Tama,
Aku harap ketika kamu membaca surat ini kamu sudah tahu siapa namaku.
Aku tidak berharap banyak darimu. Tidak perlu kamu tahu seperti apa wajahku, yang kamu harus tahu hanyalah bahwa aku begitu mencintaimu. Tidak ada satu orangpun yang bisa menggantikan posisimu di dalam hatiku. Mungkin bagimu suatu bencana jika kamu dicintai oleh orang sepertiku. Cintaku hanya perlu untuk kamu ketahui, tidak perlu kamu miliki ataupun kamu balas. Tidak perlu oranglain yang menganggap keberadaanku, aku hanya ingin kamu yang menganggapnya.
Sundari”  
Aku tertunduk lemas membaca surat itu. “Ya, kini aku ingat namamu. Namamu Sundari. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Aku tahu bagaimana rasanya tidak pernah dianggap keberadaannya, aku tahu bagaimana rasanya.” Gumamku. Rasa bersalah yang begitu mendalam menghujamku dengan keras. Perlu kekuatan lebih untuk bisa melangkahkan kakiku keluar dari hutan ini dengan membawa segudang penyesalan. Mungkin ketika aku kembali kehidupanku tidak akan kembali seperti sediakala. Maafkan aku Sundari, maaf, hanya permintaan maaf yang bisa kuberian padamu.
 


TWINS
Oleh Siska Sri Wulandari

S
emakin erat genggamannya, semakin sesak pula dada ini. Rasa bersalah kembali menghantui. Ketakutan terasa disetiap hela nafas yang aku hembuskan. Tak pernah terbayangkan aku akan menghianati dua orang yang begitu berharga dalam hidupku. Suatu pertanggung jawaban yang begitu melukai banyak pihak. Ku lepas genggamannya dengan paksa. Tak berani aku menatap mata penuh kerinduan yang saat ini tepat berada di hadapanku. Aku tahu Ia pasti akan sangat kecewa dengan sikapku. Tapi aku tidak sanggup jika harus membiarkan Ia menjadi orang yang paling terluka.

“Fara, apa kamu tidak senang dengan kedatanganku?”, Tanya laki-laki berlesung pipit itu.
Namun aku hanya membisu. Laki-laki itu berusaha untuk meraih jemariku tapi aku segera menghindar. Tampak kesedihan dari raut wajahnya. Wajah yang tetap begitu rupawan meski dalam keadaan apapun. Tapi tidak dengan wajahnya itu aku harus menukar cintaku. Dan aku yakin, begitu pun dia. Andai Ia tahu siapa aku, tidak akan sanggup Ia melukai hati gadis yang selama lima tahun mengisi relung hatinya. Namun, aku pun tidak sanggup untuk melukainya. Melihat tatapan sedihnya membuatku teringat akan tatapan Tifara. Aku bingung, sedih, takut, dan menyesal. Semua perasaan itu melebur menjadi satu. Tiba-tiba butiran hangat jatuh perlahan membasahi pipiku. Tak sanggup aku harus membuat orang yang begitu dicintai oleh Tifara tergores luka lebih lama lagi.

“Maaf, karena aku telah membohongimu. Aku tidak sanggup jika harus hidup dalam dusta. Maaf, padahal tidak seharusnya aku menyakitimu.” Isakku memecah kesunyian di Kafe favorit  Adly dan Tifara.
“Fara, dengarkan aku. Aku tidak akan pernah marah padamu. Mungkin memang waktu yang telah membuat segalanya berubah. Jika kamu begini karena sudah ada yang menggantikanku, aku tidak akan marah ataupun menghakimimu. Aku memakluminya, tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, perasaanku padamu dari dulu, esok dan seterusnya tidak akan pernah berubah. Aku akan selalu menunggumu hingga luka hatimu telah pulih dan sudi menerimaku lagi.”  Adly berusaha untuk menenangkanku sambil menatapku hangat.
“Bukan itu. Fara tidak pernah berkhianat, dan tidak akan pernah ada yang mampu menggantikan posisimu di hati Fara.”
“Aku mengerti akan perasaanmu, dan aku akan selalu sabar menunggumu.”
Bukan, bukan itu yang aku mau. Bukan itu. Kenapa Ia selalu mau mengalah? Kenapa Ia tega membiarkan aku terus terbelenggu dalam rasa bersalah. Semakin sering Ia memanggilku Tifara, orang yang identitasnya telah aku rebut, semakin sakit rasanya.
***
Dua minggu yang lalu,
Ibu masih  meraung-raung disamping pusara Tifarra sambil memeluk batu nisan yang ada diatas tanah merah yang masih basah itu. Tangis ibu semakin pilu. Aku ingin memeluknya, menenangkannya, tapi aku takut ibu malah akan semakin kalut. Aku takut, ibu semakin membenciku. Tiba-tiba ibu berbalik arah. Berdiri dan mencekikku. Aku berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan ibu, tapi tenagaku kalah akan kebenciannya. Untungnya ada ayah yang segera menolongku. Ayah menyuruhku agar segera pergi. Tapi aku tidak mau, aku ingin minta maaf pada Ibu. Tapi ketika aku berusaha untuk meraih tangan Ibu dan menciumnya, ibu seperti hendak menerkamku. Hingga pada akhirnya aku menuruti perintah Ayah. Samar-samar aku mendengar teriakan ibu yang artikulasinya tidak jelas karena dibarengi dengan isak tangisnya yang di luar batas kendali.
“Dasar anak sialan. Pembunuh!!!”
***
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Ibu berjalan mendekatiku. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa ibu akan menemuiku. Setelah seminggu ibu tidak mau berbicara denganku pasca kepergian Tifara, betapa tidak aku merasa sangat bahagia jika sekarang ibu menemuiku. Sama sekali tidak ada prasangka buruk melihat perubahan sikap ibu. Tapi, air mukaku yang tadi begitu cerah kini berubah menjadi mendung. Kulepaskan pelukan ibu perlahan. Ternyata dibalik kata maaf yang terucap dari bibirnya, ibu punya niat yang benar-benar gila. Ibu memintaku untuk berpura-pura menjadi Tifara, saudara kembarku sendiri. Katanya, ini sebagai pertangung jawaban atas apa yang telah aku lakukan. Aku akui bahwa apa yang terjadi pada Tifara adalah kesalahanku sepenuhnya, tapi tidak pernah sekalipun aku punya niat untuk melakukan itu. Aku tidak pernah tahu bahwa maut akan menjemput Tifara begitu cepat. Andai aku tahu akan kecelakaan maut itu, tidak akan pernah aku meminta Tifara untuk menjemputku pulang kursus. Tapi apakah memang pertanggung jawaban seperti itu yang harus aku lakukan untuk menebus segala kesalahanku. Ibu memintaku Berpura-pura menjadi Tifara dihadapan kekasih Tifara, Adly yang akan datang ke Indonesia untuk liburan. Seluruh keluarga Adly menetap di Jerman semenjak Ia memutuskan untuk melanjutkan studynya di sana. Adly sama sekali tidak tahu akan kepergian Tifara. Ibu sengaja tidak memberitahukannya kepada seluruh keluarga Adly karena ibu takut jika Tifara tiada, maka hubungan keluarga antara keluargaku dan keluarga Adly akan putus. Dan hal itu akan berakibat hubungan bisnis antara perusahaan yang Ayahku pimpin dan Ayah Adly pimpin menjadi terputus juga. Terlebih lagi perusahaan Ayah saat ini sedang menghadapi masa krisis. Dan aku sebagai tumbalnya.
***
Ryno membuka kotak kecil berwarna keemasan yang tadi di sodorkannya kehadapanku. Wajahku sumringah ketika melihat isinya. Kemudian Ryno meraih tanganku dan di hiasinya jari manisku dengan cincin pemberiannya itu. Cincin emas putih yang didalamnya terukir inisial nama kami berdua, T dan R, Tifanny dan Ryno.
Sejenak aku bisa kembali menghirup udara segar yang terasa tak pernah lagi singgah dalam kehidupanku. Rasa nyaman, itulah perasaan yang aku rasakan setiap kali berada di dekat Ryno. Hampir tiga tahun kami menjalin kasih, dimulai sejak kami duduk di bangku SMP. Dua tahun lebih muda dibanding hubungan Tifara dan Adly. Bicara mengenai Tifara dan Adly, membuat dadaku terasa sesak lagi. Karena menemani Adly berkeliling Jakarta waktuku hanya tersita untuknya. Hampir setiap hari aku harus mencari-cari alasan apabila Ryno mengajakku jalan-jalan. Setiap kata yang aku keluarkan dari bibir ini untuk membohongi Ryno selalu membuatku merasa menjadi wanita paling nista di bumi ini.

Tiba-tiba terasa sapuan lembut mendarat dipipiku. Mata Ryno membesar, lebih tepatnya lagi melotot, dan aku, hanya bisa membatu. Ketika berbalik kutemukan sosok Adly yang tersenyum manis padaku. Tentulah ibu yang memberitahukan keberadaanku saat ini pada Adly. Untuk beberapa saat aku merasa waktu berhenti, mengikuti detak jantungku dan Ryno yang juga terhenti.
“Adly?”, tanyaku gugup sambil melirik Ryno yang masih melotot.
“Siapa dia?”, Tanya Ryno sambil berusaha menutupi kecemburuannya walau masih terlihat jelas dari nada bicaranya kalau Ia cemburu.
“ Adly, pacar Tifara”, Adly mengulurkan tangannya pada Ryno.
Mendengar nama Tifara yang disebut oleh Adly sepertinya membuat jantung Ryno berdetak kembali. Sambil membalas uluran tangannya, Ryno berujar kembali dengan nada sedikit meninggi. “Kalau kamu pacar Fara, kenapa mencium Fanny?”
“Tifanny?, maksudmu saudara kembara Tifara?, Adly balik bertanya.
Deg, ketika aku mendengar Adly menyebut namaku, rasanya black hole sedang menghisapku.
“Ya, Fanny saudara kembar Fara.” Jawab Ryno.
“Aku tidak mengerti maksudmu? Kenapa Fanny sampai dibawa-bawa?”
“Kau ini menyebalkan sekali ya, sudah mencium pacar orang sembarangan masih berlagak polos.” Akhirnya kemarahan Ryno memuncak.
Adly menatapku dingin, sambil berlalu meninggalkan kami Ia mengatakan “Oh, maaf kalau begitu.”
“Hei, kenapa kamu pergi begitu saja urusan kita belum selesai.” Ryno berteriak sambil beranjak dari kursinya. Aku yakin, aku yakin 100%, alasan Adly pergi pastilah karena Ia mengira bahwa Ryno adalah pacar Tifara. Aku benar-benar bingung. Kini entah identitas siapa yang direbut siapa. Kuraih tangan Ryno dan mengisyaratkannya untuk segera meninggalkan kafe itu.
***
Honda Jazz Ryno berhenti  di depan rumahku. Sengaja aku melarang Ryno untuk mampir, dengan alasan sudah terlalu larut. Ryno yang pengertianpun hanya menuruti permintaanku tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Tiba-tiba, ada sms masuk dari Adly. kubaca sms itu dengan tak bersemangat.
 “Trnyta pnggnti Q lbh baik.”
Ya, Tuhan. Kebohongan semakin menjalar kemana-mana, dan akulah yang menjadi sumber kebohongan itu.
***
Tertera nama tante Ambar, ibu Ryno di layar hapeku. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, ada perasaan khawatir yang berasal dari panggilan itu.

Di seberang sana terdengar suara tante Ambar yang bergetar menahan tangis.
“Ryno , Ryno kecelakaan sayang.” Akhirnya pecah juga tangisan tante Ambar.
“Astaghfirullah, kok bisa tante?, Fanny lansung kerumah sakit ya, tante sms aja alamatnya.”
Setelah itu pembicaraan kami terputus. Kekhawatiranku kian membuncah. Ketika aku melangkahkan kaki keluar pintu, tiba-tiba ibu mencegatku dengan mata yang memerah, dan diikuti pula dengan kedatangan Ayah.
“Fanny,  kamu harus segera kerumah sakit sekarang. Adly mengalami kecelakaan.”
Aku tersentak, kenapa Ryno dan Adly bisa sama-sama mengalami kecelakaan.
“Maaf bu, tapi aku harus menjenguk Ryno, dia juga mengalami kecelakaan.”
“Jadi kamu lebih mementingkan Ryno daripada Adly, pacar kamu sendiri?” Kata ibu dengan nada sedikit meninggi.
Tidak kusangka ibu mampu mengatakan hal seperti itu. Ibu tahu aku pacar Ryno, ibu tahu ini semua adalah sandiwaranya dengan perannya sebagai penulis skenario. Tapi kenapa ibu tega berkata seperti itu.
“Fara memang pacar Adly, dan Fanny adalah pacar Ryno. Tentu Fanny harus lebih mementingkan Ryno.” Amarahku meluap-luap. Enak saja ibu menyuruhku untuk lebih mementingkan pacar orang lain dibanding pacar sendiri.
“Tapi, sekarang kamu berperan sebagai Fara.” Kata ibu lebih keras lagi dari suaraku.
“Bu, Fanny mohon hentikan sandiwara ini. Ini semua hanya akan membuat Adly terluka.  Hentikan keegoisan ibu.” Kataku lagi lebih lembut karena aku tidak mau di cap sebagai anak durhaka.
Ibu yang sudah gerah dengan tingkah lakuku mengayunkan tangannya seperti hendak menamparku, namun ayah menahan tangan ibu.
“Hentikan bu, apa yang dikatakan oleh Fanny itu benar.”
“Yah, Ini sudah merupakan tanggung jawabnya. “
“Bu, Istighfar bu, Istighfar. Bukan Fanny yang menyebabkan Fara meninggal tapi itu sudah takdir Tuhan. ibu tidak berhak memvonis Fanny seperti itu.” Kata Ayah lembut sambil menenggelamkan kepala ibu kedalam dadanya dan mengisyaratkanku untuk segera pergi.

Sesampainya dirumah sakit, kulihat tante Ambar yang sedang mondar-mandir di koridor. Ketika aku menghampirinya, Ia langsung memelukku dengan erat, air matanya membasahi hampir seluruh kaos yang aku kenakan. Ryno masih ada di ruang UGD. Setelah tante Ambar agak tenang, aku memintanya untuk menceritakan bagaimana Ryno bisa mengalami kecelakaan.
“Waktu itu, Ryno sedang dalam perjalanan menuju pulang kerumah, tiba-tiba diperempatan jalan ada mobil yang melaju kencang, dan kecelakaan maut itupun tak terelakkan.” kisah tante Ambar dengan wajah layu.
“Lantas, bagaimana dengan orang yang menabrak Ryno?” Tanyaku.
“Dia juga sedang koma, dan dirawat di rumah sakit ini juga. Tapi sampai sekarang belum ada satupun keluarganya yang datang.”
“Siapa orangnya tante?”
“Adly”, tiba-tiba terdengar suara ibu. Ibu menghampiriku dan meraih tanganku. Sambil terisak-isak dan memelukku.
“Adly yang menabrak Ryno, temui dia Fanny, temui dia sebagai dirimu, bukan sebagai orang lain.”

Aku menatap ibu, kulihat ayah yang menganggukkan kepalanya. Setelah pamit kepada tante Ambar, aku segera beranjak dan menuju ke ruang rawat Adly. dia baru saja melewati masa kritisnya, namun Ia belum sadarkan diri. Dokter hanya mengizinkan satu orang saja yang boleh membesuknya. Tentulah aku yang harus masuk. Air mataku menetes membasahi tangan Adly. Aku sangat prihatin terhadap kondisinya. Dia adalah orang yang benar-benar berhati mulia, tapi mengapa hidupnya penuh dengan cobaan seperti ini. Ku kecup tangannya, berharap ada suatu keajaiban. Dan ternyata keajaiban itu benar-benar datang, tangannya bergerak lemas, matanya sedikit demi sedikit terbuka, bibirnya menyunggingkan senyum.
“Kak Adly.” Seruku bahagia.
“Fara,” katanya hampir tak terdengar.
“Kak, aku bukan Fara, aku adalah Fanny saudara kemba Fara.”
“Apa maksudmu?”

Ku ceritakan semua yang telah terjadi pada Tifara. Dan pada saat itu pula nafas Adly tersengal-sengal. Aku takut Adly bernasib sama dengan Tifara. Aku hanya bisa berteriak-teriak histeris sambil memanggil dokter. Namun belum tiba sang dokter ternyata Tuhan telah menjemput Adly. Adly menghembuskan nafas terakhirnya didalam genggamanku. Aku rasa ini adalah pilihan Tuhan, pilihan terbaik yang Tuhan berikan untuk orang sebaik dia, menyatukan Adly dan Tifara. Aku langsung menghambur dalam pelukan Adly. Tubuhnya kaku, dingin dan pucat, namun masih bisa kurasakan kehadirannya. Tiba-tiba ibu muncul sambil berseru bahwa Ryno telah sadar dan ingin bertemu denganku. Tapi ketika melihat kondisi Adly ibu langsung pingsan. Dan tiba-tiba aku melihat sosok Tifara dan Adly di dekat pintu, melambaikan tangan sambil tersenyum dan kemudian lenyap.◘
           
MAK COMBLANG

Oleh Siska Sri Wulandari
K
enalin, gue Ariesta Ananda, mak comblang paling laris di SMA Harapan Bangsa. Hampir seluruh pasangan yang hidup di SMA Harapan Bangsa adalah hasil karya gue. Benang-benang merah yang saling menghubungkan muda-mudi itu berhasil gue pertemukan, So SMA Harapan Bangsa sukses gue buat selalu dipenuhi dengan cinta. (Lebay Mode)
***
“Iya Ta,gue pengen lo nyomblangin gue sama dia.”
Tercekat gue mendengar ucapan sohib gue barusan, Nanta. Bakso yang gue kunyah sampai nggak bisa lewat di tenggorokan gue dengan mulus. Untungnya dengan masih dalam keadaan setengah sadar gue menggerakkan tangan gue untuk meraih jus alpukat yang ada di atas meja dan meneguknya sampai kering hingga bakso malang gue bisa kembali ke alamnya.
 “Ta, plis, bantu gue, cuma lo yang bisa bantu gue. Masa sama sohib lo sendiri lo nggak mau bantu sih. Tega ahh lo.” Suara cempreng Nanta masih terus berdendang disamping telingaku. Sambil menarik-narik lengan kemeja putihku Ia terus merengek-rengek bak balita minta dibelikan permen.
 “Nan, bukannya gue nggak mau bantuin lo, tapi permintaan lo itu terlalu sulit buat gue lakuin,” mataku menatap lekat-letak pemilik bola mata coklat itu. Kasian sekali aku melihat Nanta bisa-bisanya tergila-gila pada laki-laki seperti dia. Kayak laki-laki di bumi ini sudah pada punah aja, sampai-sampai Nanta, ketua cheerleader SMA Harapan bangsa yang paling cute itu harus nyari makhluk planet kayak dia.
 “Komik terbarunya Detective Conan?”
Aku menggeleng.
“Gue traktir lo nonton plus makan deh.”
Aku masih menggeleng.
Nanta terdiam. Rasa lega menghampiriku, kufikir Nanta akan menyerah merayuku, tapi ternyata tidak. Ia justru makin tersulut untuk terus bisa meluluhkanku.
“DVD Original album terbarunya SS5O1.” kata Nanta kemudian dengan nada kemenangan.
Mataku langsung membesar. DVD yang sudah lama aku idam-idamkan. Langsung muncul suara-suara kecil yang berbisik riang di telingaku.
“Terima aja, jangan ditolak,  nanti kamu sendiri yang rugi,” kata si setan.
 “Janganlah kamu lakukan itu Ariesta, kasihan sahabatmu itu,” Cegah sang Malaikat.
“ngapain kamu kasihan, kan dia yang mau.” Kata si setan lagi.
Ariesta menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha mengusir suara-suara itu dari benaknya.
“Oke,  DVD Original SS5O1!” kata Ariesta berapi-api.
“Deal,”  kata Nanta sambil menjabat tanganku.
Namun beberapa detik kemudian aku baru sadar betapa bodohnya aku.
***
“jgn lupa Sm jnji lo y Eta syng!.” Begitulah isi sms dari Nanta. Kurebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Saraf-saraf otakku rasanya sudah pada bergeser. Kenapa dengan bodohnya aku mengiyakan permintaan Nanta untuk mencomblangkannya dengan Leon. Seluruh dunia pasti sudah tahu kalau Leon itu terkenal murid yang paling brutal disekolah. Tampangnya emang kiyuut, banget malah. Tapi kelakuannya itu lho, nggak nahan. Dia itu suka malakin anak-anak. Hobinya berantem. Nggak senang kalau sehari itu nggak gangguin anak lain. Pokoknya brutal banget. Jujur gue males aja berurusan sama orang kayak dia. Tapi lebih tepatnya lagi “TAKUT”. Dan itu yang membuat gue nggak rela sohib gue yang paling memprihatinkan keadaannya saat ini, jadian sama Leon.
Walaupun tampangnya kiyuut abis, tapi kalau kelakuannya brutal sama aja. Nggak ada nilai plus-plusnya sama sekali. Tapi, satu hal yang nggak gue habis fikir, dia itu Cepat banget menangkap semua penjelasan dari guru. Apalagi kalau soal hitung-hitungan. Kayaknya rumus-rumus itu udah jadi makanan dia sehari-hari. Padahal nggak pernah sekalipun gue lihat makhluk tengil bertitle Leon Irsandy itu menyentuh buku disekolah kecuali kalau mau ulangan. Inget Cuma nyentuh nggak lebih. Yang artinya dia Cuma ngeliatin bukunya aja, nggak dibaca sama sekali. Beda banget sama gue, mau gue baca buku sampai sampulnya lepas pun nggak pernah masuk ke otak gue yang berkapasitas kecil ini. So, Kesimpulannya “DIA BUKAN MANUSIA BIASA”!
***
Peluh menyelimuti tubuh kurusku. Bola raksasa berpijar itu seakan-akan berada tepat diatas kepala. Dengan tergesa, terseok-seok aku berusaha mempercepat langkahku yang terhambat karena rok abu-abu panjangku yang hampir meyapu tanah. Hingga akhirnya sampai juga aku di tempat tongkrongan Leon and the Gank. Kumpulan anak-anak tengil yang paling menyebalkan. Gue sengaja nemuin teman-teman Leon disaat Leonnya nggak ada. Soalnya gue nggak berani nanya langsung sama Leon. Ini masih awal dari penderitaanku demi menyatukan cinta Nanta dan Leon yang aku sendiri tahu dengan pasti bahwa itu akan membuat banyak pihak terluka, dan aku salah satunya. Paling terluka malah.
“Sat, gue boleh nanya nggak?”, setelah berhasil mengumpulkan seluruh keberanian terucap juga kata-kata itu. Meski masih terlihat jelas kegugupanku.
Satria, orang yang aku Tanya hanya bisa melongo. Sudah kuduga Ia pasti terkejut dengan kedatanganku.
“Ariesta.” serunya dengan logat bataknya yang kental.
sambil nyengir-nyengir kuda aku menggaruk-garuk kepala. Canggung juga aku berbicara dengan mantanku sendiri. Well, aku pernah pacaran sama cowok batak asli bernama Satria ini. Tapi hubungan kami Cuma seumur jagung. Nggak sampai satu bulan. Awalnya sih gue kagum banget sama Satria. Lantaran kepiawaiaannya dalam bermain basket, Tapi lama-lama gue nggak tahan sama kelakuannya yang ternyata sebelas dua belaslah sama si tengil Leon.
“Mau tanya apa?” Tanya Satria sambil melempar tatapan bingungnya kesemua teman-temannya.
“Gue, Gue Cuma mau Tanya alamat Leon”, tanyaku pelan bahkan hampir berbisik. Takut anak-anak lain selain gangk-gangknya Leon yang juga nongkrong disitu mendengarnya.
“Apa? lo ngomong atau kumur-kumur sih?” Tanya Satria yang mulai jengkel dengan tingkah lakuku.
“Alamat Leon?” Ulangku dengan sedikit membesarkan volume suaraku, bahkan terlalu keras.
Terlihat Satria dan teman-temannya menatapku dengan pandangan aneh.
Tiba-tiba…
“Emangnya lo mau ngapain nanya-nanya alamat gue?”, terdengar suara seseorang dari belakangku. Suara yang aku kenal betul. Suara fales si tengil Leon. Oh My God, kalau ada lubang mungkin aku akan segera masuk kedalamnya.
“Oi, jawab. Ditanya malah diam aja.” Sambung Leon sambil melangkah dan berdiri tepat dihadapanku.
Aliran darah diseluruh tubuhku rasanya berhenti. Tubuh ini terasa amat kaku dan nadi-nadi ini terasa putus.
“Oi, bisu ya?” celetuk Leon.
“Gu, gue”
“Gue, Gue. Gue apa? ngomong yang jelas!”
“Gue, cuma mau main kerumah lo. Mau belajar bareng.” Tiba-tiba bibirku mengeluarkan kata-kata konyol itu. Semua orang yang ada disana menertawakanku. Dasar nyebelin. Begok banget gue malah jawab kayak gitu.
“Belajar bareng? Ngigo lo ya?”
“Nggak.” Jawabku sok tegas.
Tawa mereka semakin menjadi-jadi. Rasanya ingin kujitak kepala mereka semua.
Leon mengangkat tangannya. Menyuruh teman-temannya untuk diam. Cool banget. Ya ampun, ini bukan saatnya kagum pada cowok tengil itu. Sejurus kemudian aku baru sadar bahwa jarak aku dan Leon kini hanya satu senti. Aku hanya bisa tertunduk lemas.
“Oke, boleh.” Kata Leon sambil melemparkan tasnya ke gue. Emang susah kalau berurusan dengan preman ikan asin kayak dia. Kalau bukan demi Nanta (lebih tepatnya sih demi DVD originalnya SS5O1) gue nggak bakalan mau ngelakuin hal konyol kayak gini.
Kuikuti langkah Leon dengan tergesa-gesa. Dengan terpaksa aku naik sepeda motor butut Leon. Lantas Leon melaju bak jet tanpa menghiraukan aku yang mungkin sudah nggak bernafas lagi. Namun tiba-tiba Leon meraih tanganku dan melingkarkannya dipinggangnya.
“Lo nggak usah mikir yang enggak-enggak, ini demi keselamatan lo aja.” Kata Leon sambil terus menatap kedepan.
“Ya, kalau gitu lo bawa motornya nggak usah kayak orang kesetanan gini dong.”
Tapi, bukan laju motor yang berkurang kecepatannya yang aku dapat malah Leon yang makin ugal-ugalan mengendarai motornya yang harusnya sudah dimuseumkan itu. Padahal untuk ukuran orang seperti Leon, mengganti motor bututnya itu dengan mobil adalah hal yang sangat mudah.
***
Sebuah rumah sederhana bercat putih tepat berada dihadapanku. Meski kecil tapi terlihat begitu asri. Halamannya dipenuhi dengan bunga-bunga mawar yang begitu indah. Nyaman sekali untuk dilihat. Tapi Jauh sebelum aku tahu bahwa disinilah tempat tinggal Leon, aku membayangkan rumah Leon pastilah megah bak Istana. Tapi ternyata dugaanku salah. Sempat aku berfikir bahwa mungkin bukan ini rumah Leon. Tapi sekeras apapun aku berusaha untuk menemukan rumah yang lebih bagus dari ini tetap saja gagal. Yang aku temukan hanya rumah-rumah kecil lainnya yang bahkan dapat tergolong kumuh. Leon yang menyadari akan keherananku hanya berdehem dan mempersilahkan aku untuk masuk.
“Sudah kuduga reaksimu pasti akan sama dengan yang lainnya”. Kata Leon tiba-tiba sambil menghela nafas panjang dan mengambil posisi duduk tepat dihadapanku.
“Maksudmu?” Tanyaku bingung.
“Semua orang yang mengenalku pasti akan berfikir, seorang Leon Irsandy, putra tunggal dari pengusaha sukses Roy Irsandy adalah orang paling beruntung didunia ini. Punya wajah yang tiada taranya, harta melimpah dan tentunya tinggal di rumah bak istana. Tapi pada kenyataannya mimpi-mimpi indah yang diciptakan sendiri oleh orang-orang itu semuanya adalah tidak benar.”
Aku tertegun mendengar perkataan Leon barusan. Aku merasa Leon adalah seseorang yang begitu rapuh. Tapi tolong diperhatikan dialog dimana Leon mengatakan bahwa Ia punya wajah yang tiada taranya hanya aku anggap seperti angin lalu.
“Gu, Gue minta maaf. Tapi mungkin dengan latar belakang lo yang seperti itu akan membuat semua orang beranggapan sama.”
 “Pernah nggak lo dikhianati sama orang yang begitu lo sayangi?” Tanya Leon sambil menatap lurus terhadapku. Tatapannya begitu tajam. Perasaan sakit seperti teriris sembilu menusuk jantungku.
“Seseorang yang selama ini kita panggil Ayah, lebih memilih untuk hidup dengan gadis lain yang sebenarnya lebih pantas untuk menjadi anaknya.”
“Orangtua lo bercerai?” Tanyaku selembut mungkin agar tidak menyakiti perasaan Leon.
“Seseorang yang paling berarti dalam hidup gue pun harus kehilangan akal sehatnya. Lo tahu gimana rasanya? Setiap hari gue harus menjadi satu-satunya saksi hidup penderitaan ibu gue. Mentalnya terganggu, mungkin lebih tepatnya nggak waras. Bahkan dia nggak kenal siapa gue.
“Ayah,” ada sedikit penekanan saat Leon menyebutkan kata-kata itu. “Dia menceraikan ibuku dan menikah dengan wanita jalang yang entah darimana Ia menungutnya. Ayah memang tidak penah mencintai Ibu. Ibu hanya gadis desa yang dijodohkan dengan Ayah. Walau begitu, Ibu juga mempunyai cinta lain, namun ibu melepaskannya dan rela berkorban segalanya demi ayah. Ibu selalu sabar menghadapi Ayah. Bahkan ketika Ayah memutuskan untuk menceraikan ibu, ibu tidak meminta sepeserpun dari Ayah. Namun Ibu sangat kecewa, saat mengetahui ayah akan menikah lagi. Menikah dengan wanita simpanannya.”
Aku terperangah mendengar kisah Leon yang ternyata begitu menyedihkan.
“Tapi aku tidak suka dengan sikap ibu yang terlalu sok kuat. Merasa bisa menanggung semua beban ini sendiri, tapi kenyataannya Ia lemah, Ia bukanlah orang yang kuat. Andai Ia mau sedikit berbagi denganku, tentu tidak akan seperti ini jadinya.” tangis Leon pecah. Pilu sekali aku mendengarnya.
 “lo sama seperti ibu lo. Sok kuat padahal lemah”, kataku lembut. Lo sebenarnya adalah anak yang baik, kenakalan-kenakalan yang lo lakuin itu cuma untuk pelarian aja. Lo itu kayak Kristal. Dari luar lo terlihat begitu menawan dan membuat bayak orang kagum sama lo, tapi sebenarnya didalamnya lo terbentuk dari serpihan-serpihan kecil yang begitu rapuh. Lo hanya butuh seseorang untuk berbagi cerita, dan gue bisa kok jadi temen curhat lo.”
“Makasih ya Ta, lo emang cewek yang baik. Gue permisi kebelakang dulu ya mau buatin minum. Kata Leon sambil tersenyum manis. Jujur itulah kali pertama gue mau mengakui bahwa Leon memang pantas untuk dikagumi.
Yiha, Ntah kerasukan apa aku tadi bisa bicara sebijak itu. Ini kabar bagus buat Nanta. Gue berhasil mendapatkan informasi yang akan membuat jalan menjodohkan Leon dan Nanta semakin mulus. Dan sekarang gue juga ngak perlu khawatir lagi, karena sebenarnya Leon itu adalah cowok yang baik. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku agenda. Karena rasa keingintahuanku yang berlebihan akhirnya aku memberanikan diri untuk membaca agenda tersebut, walaupun aku sadar bahwa itu bukanlah hakku.
Betapa mengejutkan sekali ketika aku buka agenda tersebut. Ketika yang kudapati adalah foto-fotoku. Semua kegiatanku terdokumentasi dengan baik. Bahkan bukan hanya disekolah saja tapi juga ditempat les, dirumah, di Mall. Dan ketika aku membalikkan salah satu foto itu aku menemukan tulisan yang begitu mencenangkan. ”Leon♥Ariesta.” Ya Tuhan, bukan hanya satu foto,tapi dua,eh tidak aku menemukan tulisan seperti itu lagi di foto yang lain, empat, eh tidak, lebih dari itu. Tidak, semua foto-fotoku ada tulisan seperti itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku katakan pada Nanta nanti kalau sebenarnya Leon. Tidak, aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Nanta. Tapi tidak mungkin Leon menyukaiku. Kami bahkan tidak pernah bertegur sapa sebelumnya. Aku segera berlari dan pergi dari rumah Leon ketika melihatnya keluar dari dapur.◘
RAHASIA AYAH
Oleh Siska Sri Wulandari

Siapa laki-laki itu. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Apa Ia anak salah satu kerabat almarhum Ayah? Aku bertanya pada diriku sendiri. Tapi hidungnya yang bangir itu mirip sekali dengan almarhum Ayah. Tapi bagaimana bisa? Bahkan sejak Ia datang, Ia belum ada menemui kami sebagai pihak keluarga. Waktu sedang pembacaan Yasin tadi pun Ia tampak begitu khusuk, suaranya terdengar lantang dan fasih ketika membacanya. Wajahnya sangat tampan. Hidungnya bangir, kulitnya putih bersih. Perawakannya tinggi dengan berat badan yang cukup membuatnya terlihat seperti atlet basket. Kira-kira umurnya hanya terpaut sekitar tiga tahun lebih tua dariku.
Ia memergokiku sedang memperhatikannya. Aku jadi salah tingkah. Ia berjalan mendekatiku, tapi semakin Ia mendekat, aku terus melangkah mundur. Melihat reaksiku, Ia mempercepat langkahnya. Aku semakin gugup, dengan segera aku membalikkan badan dan bergegas meninggalkan teras, namun langkahku kalah cepat dengan tarikan tangannya. Jari-jarinya yang kekar, membuatku sedikit kesakitan. Tiba-tiba Ia menyebut namaku.
“Rana.” panggilnya lembut.
Aku masih tetap tidak menoleh kearahnya. Mungkin sadar akan ketakutanku, Ia melepas genggaman tangannya.
“Maaf, jika kakak membuatmu takut.”
Aku semakin takut. Bagaimana Ia tahu namaku?
“Rana, tolong lihat kakak, kakak tidak akan menyakitimu.” Katanya lagi dengan sedikit memelas.
Tapi aku malah berlari meninggalkannya. Kenapa disaat seperti ini harus ada orang aneh yang menggangguku. Disaat semua orang harus merelakan kepergiaan Ayah untuk selamanya. Air mata yang kian turun terus menerus mengiringi kepergian Ayah. Do’a- Do’a terus mengalir sebagai bekal untuk Ayah di dunianya yang baru. Dan biasanya, jika ada orang yang menggangguku, Ayah akan langsung melindungiku. Namun sekarang, aku harus belajar untuk menjadi gadis yang tegar dan mandiri. Gadis yang tidak bergantung lagi dibawah telapak tangan Ayah yang sudah renta. Itulah nasihat terakhir Ayah kepadaku. Aku yakin, Ayah pasti masuk surga, karena tak perlu diragukan lagi Orang baik pasti akan masuk surga. Dan Ayahku adalah orang baik. Tiada tempat yang lebih pantas selain surga.

Ketika pemakaman Ayah, aku masih melihat sosok laki-laki itu. Ia berusaha menahan tangisnya. Akhirnya, setelah proses pemakaman selesai tinggallah aku, kedua adik laki-lakiku, ibu dan juga nenek. Tapi, dari kejahuan aku masih melihat sosok laki-laki aneh tadi berdiri dibawah pohon. Tiba-tiba air mata yang sedari tadi masih bisa aku tahan, tumpah juga. Meronta-ronta aku diatas pusara Ayah. Kupeluk dan kuciumi batu nisan Ayah. Padahal sebelumnya Ibu sudah menasihatiku untuk tidak terus menangisi kepergian Ayah, karena itu akan membuat jalan ayah kesurga semakin sulit. Namun, apa daya. Aku si sulung dari tiga bersaudara dari keluarga ini. Aku yang paling dekat dengan Ayah. Bagaimana mungkin aku bisa menerima dengan mudah, bahwa orang yang teramat aku sayangi sudah tidak akan pernah ada lagi disisiku dan kini sudah terkubur didalam tanah yang sebentar lagi akan dimakan cacing dan ulat. Aku masih belum bisa menerimanya. Tangisku malah semakin pecah ketika nenek memelukku. Tiba-tiba pandanganku menjadi berbayang-bayang. Sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaranku. Satu yang kuingat, sebelum aku benar-benar roboh, seorang laki-laki segera menggendongku.

Kucoba membuka mataku secara perlahan, walau masih sedikit pusing. Alangkah terkejutnya aku ketika sosok pertama yang aku lihat adalah laki-laki aneh itu. Aku heran, kenapa tidak ada satu anggota keluarga pun yang mengeluhkan akan kehadirannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang orang-orang ketahui tapi aku tidak mengetahuinya tentang laki-laki ini. Aku yakin, pasti ada yang disembunyikan. Kulihat ibu seperti ingin menjelaskan sesuatu kepadaku, tapi ditahan oleh laki-laki aneh yang sampai detik ini pun, kau belum tahu namanya.
“Biar Adit aja tante yang menceritakannya kepada Rana.” Kata laki-laki aneh itu yang kini telah ku ketahui bernama Adit, sambil mengelus kepalaku dengan lembut. Entah mengapa, sapuan tangannya di kepalaku serasa seperti sapuan tangan Ayah. Damai sekali rasanya. Rasa penasaranku kian memuncak. Siapa gerangan laki-laki ini? Apa dia masih ada hubungan keluarga denganku? Tapi kenapa aku tidak kenal dengannya? Karena semua anggota keluarga baik dari pihak Ayah maupun Ibu, aku kenal.

Tiba-tiba Ia mendorong kursi roda kearah ranjangku. Kemudian Ia memapahku untuk duduk dikursi roda. Aku tidak bisa melawan, karena aku merasa masih sangat lemas. Aku hanya bisa memandang ibuku, ketika Adit membawaku keluar dari kamar. Tapi ibu malah berkata.
“Tidak apa-apa sayang, Adit akan memberitahukan sesuatu yang sejak tadi mengganjal dihatimu.”

Hembusan angin sepoi-sepoi membuatku sedikit mengantuk. Melihat kolam yang dipenuhi dengan angsa-angsa membuatku merasa tenang. Kicauan burung menyejukkan jiwaku. Aku tidak mengerti, tapi rasanya laki-laki aneh yang mengaku bernama Adit ini tahu apa yang bisa membuatku merasa nyaman. Tiba-tiba Ia berhenti, dan duduk dikursi taman yang ada disebelahku. Dihelanya nafasnya panjang-panjang. Aku sendiri masih diam. Aku tidak akan bicara sebelum Ia yang memulainya.
“Saat ini, aku mengerti apa yang kamu rasakan Rana, karena aku juga pernah merasakan hal yang sama. Bahkan jauh lebih sakit dari apa yang kamu rasakan saat ini.” Tiba-tiba Ia membuka pembicaraan sambil menatapku.
Tapi aku tidak membalas tatapannya.
“Aku nggak peduli akan masa lalumu. Yang aku ingin tahu hanyalah siapa kamu sebenarnya”. Kataku ketus sambil tetap melihat lurus kedepan.
“Justru itu, masa lalu yang akan menjelaskan identitasku.” Jawabnya lagi.
“Udahlah, nggak usah berbelit-belit.”
“Ayahmu tidak sebaik yang kamu kira.”
Aku tersentak mendengar ucapannya barusan.
“Apa maksudmu berkata seperti itu? Memangnya kamu fikir kamu itu siapa? Kamu itu Cuma orang asing yang tiba-tiba muncul dalam keluarga aku, jadi jangan berlagak sok tahu tentang Ayahku.” Aku menyemprotnya bertubi-tubi sambil membalas tatapannya dengan tatapan sinis.
“Justru kamu yang nggak tahu apa-apa Rana, kamu itu anak dari hasil selingkuhan Ayahku.
Kamu dan aku bersaudara. Kita satu Ayah beda Ibu.”
Dengan refleks tamparanku mendarat tepat di pipinya. Mataku berkaca-kaca. Tapi tak tampak sedikitpun kemarahan dari wajahnya.
“Aku tahu ini sulit bagimu Rana. Tapi bagiku untuk hadir diacara pemakaman orang yang telah membunuh ibuku lebih sakit rasanya.”
“Jaga ucapanmu kalau tidak mau aku menamparmu lagi.”
“Tampar aku sesuka hatimu, jika itu membuatmu puas. Tapi tetap saja tidak akan mengubah kenyataan.” Katanya lagi sambil bersimpuh dihadapanku.
“Ibuku adalah istri pertama Ayahmu. Dari hasil pernikahannya lahirlah aku. Ayahmu seorang laki-laki yang mata duitan. Menikahi ibuku hanya karena harta. Kedudukan yang didapatkan Ayahmu bukanlah dari hasil kerja kerasnya sendiri, namun dari tunjangan ibuku. Tiga tahun pertama di pernikahan mereka semua berjalan baik-baik saja. Sebelum akhirnya Ayahku mengenal ibumu. Seorang pengusaha muda yang jauh lebih kaya dari ibuku. Ia meninggalkan kami dan lebih memilih menikah dengan ibumu. Saat itu aku masih berusia dua tahun. Sejak diceraikan oleh Ayah, hidup ibuku jadi sembrawut. Pola makannya pun jadi tak teratur. Ibu tak pernah mau lagi mengurusi Perusahaannya, hingga akhirnya Perusahaan ibu bangkrut. Satu bulan setelah bangkrutnya Perusahaan ibu, Beliau bunuh diri dengan cara gantung diri.”
Kulihat mata Adit yang memerah.
“Semua orang sudah tahu, kecuali aku?” tanyaku kepadanya sambil meraih jemarinya.
“Iya, ibuku yang memintaku untuk menceritakannya kepada keluargamu.”
“Kamu tidak dendam pada keluarga kami?”
Mendengar pertanyaanku, Adit langsung berdiri dan melepas genggaman tanganku.
“Dulu. Dulu aku benci sekali dengan keluarga ini. Bahkan pernah terfikir olehku untuk balas dendam. Tapi niat itu kuurungkan ketika kubaca surat peninggalan ibu kepadaku yang dititipkan kepada Bik Nah.”
“Surat?” tanyaku lagi.
“Aku rasa sekarang semuanya sudah jelas. Dan tidak ada lagi yang harus aku jelaskan kepadamu.” Katanya sambil beranjak pergi meninggalkanku.
Aku berteriak memanggil namanya, tapi Ia sama sekali tidak mau menoleh. Aku menyesal, sangat menyesal. Aku belum sempat minta maaf padanya. Tiba-tiba aku menemukan selembar kertas yang terlipat empat diatas kursi yang yang tadi diduduki oleh Adit. Aku segera membuka lipatan kertas itu. Ternyata itu adalah surat peninggalan ibu Adit. Pasti Adit tidak sadar bahwa suratnya ketinggalan disini. Hanya beberapa baris dari isi surat tersebut mampu membuatku menangis histeris.
Untuk anakku tersayang, Adit.
Sayang, maaf jika ibu baru mengizinkanmu untuk membaca surat ini.
Karena ibu merasa di usia yang ke-20 lah kamu baru pantas untuk membaca surat ini.
Tanpa perlu ibu jelaskan lagi, kamu pasti sudah mengerti apa yang kita alami.
Maafkan ibu karena ibu malah lari dan meninggalkanmu sendiri nak.
Maafkan ibu, ibu tau ini tindakan yang kejam dan tidak bertanggung jawab.
Tapi ibu sungguh tidak sanggup menerima semua keadaan ini. Ibu tidak kuat. Tapi ibu yakin, kamu jauh lebih tegar dari ibu.
Ibu yakin, setelah kamu tahu semuanya dari Bik Nah pengasuhmu, kamu pasti ingin balas dendam.
Tapi ibu mohon, tolong jangan lakukan itu. Karena kalau kamu sampai melakukan hal itu, itu artinya kamu sama kejinya dengan Ayahmu.
Jangan pernah nodai dirimu dengan perbuatan yang tidak berguna seperti itu.
Biarlah Tuhan yang membalas semua perbuatannya. Kita sebagai manusia hanya bertugas untuk memaafkan bukan membalas.
Cari dan temui keluarga baru Ayahmu.
Jaga adik-adik tirimu, jangan biarkan mereka bernasib sama denganmu.
Do’a ibu akan selalu menyertaimu.
Ibu sangat sayang padamu Nak. Sayang sekali. Tapi maafkan ibu, karena ibu telah terjerumus kedalam kubangan dosa dengan mengakhiri hidup ibu sendiri.
Ibu yakin kamu tumbuh menjadi anak yang tampan, tegar, cerdas, sopan, bijaksana dan mengagumkan.
Terus kirimi ibu do’a,dan sampaikan salam ibu kepada calon keluarga barumu.
Selamanya ibu selalu menyayangimu.
Salam Sayang

Ibumu tersayang

Sejak hari itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Kak Adit. Apa Ia lupa akan kewajibannya untuk menjaga kami, adik-adik tirinya. Apa Ia juga mewarisi sikap tak bertanggung jawab Ayah. Tapi ternyata dugaanku salah. Setelah pontang-panting aku berusaha untuk mengetahui keberadaannya, akhirnya aku tahu keberadaannya dari Bik Nah. Kak Adit ternyata sedang melanjutkan studynya di Australia. Karena kecerdasannya, sejak duduk dibangku Sekolah Dasar hingga sekarang ketika Kak Adit kuliah diluar negri, Bik Nah yang selama ini merawat Kak Adit tidak pernah sepeserpun mengeluarkan uang untuk biaya pendidikannya. Semua didapatkannya dari Beasiswa. Katanya Kak Adit belum mau bertemu lagi dengan keluarga barunya jika belum menjadi orang yang sukses. Tapi, Ia janji akan kembali dan menemui kami semua ketika Ia sudah sukses. Kak Adit, kami akan terus menunggumu. Kami sayang padamu dan kami banngga akan kemurahan hatimumu. Kamu benar-benar hebat. Ibumu mendidikmu dengan cara yang luar biasa.